Senyuman Seorang Badut

Cerpen
                        Terlahir sebagai seorang anak laki-laki dari sebuah keluarga miskin yang setiap hari serba kekurangan, serba peretengkaran, dan selalu kesusahan. Entah apa yang menjadi nasibku, ibuku sejak puluhan tahun telah menjadi tukang cuci. Sebenarnya hal itu tidak masalah bagiku karena dengan kehadiran bapak sebagai seorang badut membuat hari-hariku cukup gembira. Sebagai satu-satunya anak mereka aku turut meraskan apa yang mereka alami. Aku turut bersedih ketika ibu selalu mengeluh saat listrik mati karena dengan pekerjaannya sebagai tukang cuci ia membutuhkan listrik untuk menyetrika. “Semua ini gara-gara kamu pak, bisa nggak sih nyari kerjaan yang bagusan dikit, sudah puluhan tahun kita kaya gini pak, makan kurang, listrik selalu mati, semua ini karena kita nggak punya uang pak, ubah pola pikir bapak” Jelas Ibu yang kesal saat listrik mati. “Bu mbok yo sabar, pekerjaan seorang badut itu juga berkah bu yang penting halal, dan dapat menyenangkan orang lain pula”, lontar bapak. “Terserah bapak lah”, lanjut ibu. Sebenarnya aku bosan melihat pertengkaran ini tetapi apa boleh buat aku hanya terpaku termenung memikirkan nasibku kedepannya.
            Pagi hari telah menyambut hariku, mentari telah bersiap tersenyum untuk hari ini, dan bapak tentu selalu tersenyum membangunkanku di pagi ini. “Adit kita sarapan yuk”, ajak bapak. “oh ayuk pak boleh, tapi aku mandi dulu ya pak sekalian berseragam dulu”, lanjutku. ”Oh tentu silakan nak”. Setelah mandi dan siap untuk sarapan aku berhenti sejenak, memandang nasi berlauk tempe yang semakin hari makin membosankan. “Bu nggak ada yang lain apa lauknya”, tanyaku. “Nggak tahulah tanya bapakmu tuh cari kerja yang bener yang gajinya tetap”, tegas ibu. “Sudahlah bu, nak gini gini nak memang luarnya ini tempe tapi coba gunakan imajinasimu, pikirkan bahwa yang di hadapanmu  ini lauk daging yang besar-besar hmmm pasti lezat nak, hibur bapak. Saat aku membayangkannya“Waah iya pak terlihat lebih lezat, hhmmm sedaap”. Setelah sarapan aku segera berangkat ke sekolah dengan bapak, sepeda tua milik bapak menjadi saksi bisu kegembiraan aku dan bapak. Entah mengapa bapak selalu tersenyum, selalu menghiburku, dan selalu bernyanyi di sepanjang perjalanan ke sekolah. Bapak selalu terlihat gembira dan seakan baik-baik saja padahal masalah hidup tak henti-henti menghampirinya. Sebelum masuk sekolah bapak selalu menunjukkan atraksi sulapnya, dari tangan kosong dan akhirnya muncul uang koin seribu untuk aku jajan. Aku sering diajak berkeliling menemani bapak menjadi seorang badut, cukup menyenangkan. “Bim salabim jadi apa tolong dibantu ya, bim salabin yeee,, jadi kelinci”, hibur bapak. Melihat anak-anak kecil dan orang lain tertawa mungkin sudah cukup membahagiakan bapak. Hingga suatu ketika, pandanganku terhadap diri bapak berubah 180 derajat…
            “Pak mana uangnya, beras udah abis nih, lauk nggak ada, listrik hampir selalu padam, mana pak”, terka ibu. “Bu maaf bu hari ini bapak nggak bawa uang, tadi bapak ke rumah sakit menghibur anak-anak di sana yang sedang menderita penyakit kronis bu, jadi bapak belum sempet kerja bu”, jawab bapak. “Pak, Bapak ini lho hanya memikirkan kegembiraan orang lain, keluarga kita juga butuh gembira pak, seharusnya bapak lebih memikirkan keluarga dibanding mereka semua, sudah ya pak aku sudah tidak tahan dengan hidup kayak gini, aku mau pergi saja dari rumah ini”, tegas ibu. “Bu sadar bu istighfar jangan bu jangan”, cegah bapak. Tanpa memedulikan bapak ibu langsung pergi dan meninggalkan kami berdua. Aku yang melihat kejadian itu ingin mengejar ibu, tapi nasi sudah menjadi bubur ibu terus pergi tanpa peduli. “ “Hu..hu…hu semua ini salah bapak, ibu jadi pergi kan aku nggak mau ibu pergi pak, aku benci sama bapak”, ucapku terlanjur sebal, kini aku menganggap bapak sudah menelantarkan kami, tak peduli kami, ia hanya memikirkan pekerjaannya.
            Sepanjang hari ku lewatkan hidup dengan bapak, yang tetap mempertahankan profesinya itu. Sekarang hidupku penuh dengan kemurungan dan penderitaan. Sulap, candaan, dan senyuman bapak sudah tak ampuh lagi bagiku. Aku terlanjur benci karena telah ditinggal ibu, aku benci selagi bapak terus menjadi badut. Namun, ku tersadar untuk membuat perubahan aku harus belajar di tengah kekurangan ini. Selalu kulalui sekolahku dengan giat hingga kedepannya aku bisa menjadi sukses. Dan saat ku telah menempuh pendidikanku, aku segera merantau di usia 20 tahun dan mencari pekerjaan, tanpa peduli bapak yang sendirian di rumah. Ku tinggalkan bapak seperti dulu ibu meninggalkanku. Aku tak peduli lagi….”Nak Adit janganlah pergi ninggalin bapak nak, bapak sudah tua nak, tolong hanya kamu satu-satunya yang bapak punya nak, biarkan nak biarkan kamu nyuekin bapak selama ini, asalkan bapak tetap bersamamu nak, ayo nak kembali nak”, mohon bapak. “Tidak pak, tidak aku tidak ingin menderita seperti bapak aku ingin sukses dan bahagia, walau tanpa bapak sekalipun”.
            Aku pergi meninggalkan rumah, dan menjalankan bisnis berdagang, hingga akhirnya aku sukses menjadi saudagar, kini ku telah mempunyai rumah besar yang sangat nyaman. Tak terasa kini aku sudah menikah dan mempunyai anak, sudah 7 tahun aku menjalani hidup tanpa kehadiran bapak. Sesungguhnya masih tersimpan rasa kangen di jiwa ini setelah sekian lama ku tinggalkan bapak, sangat terasa kegundahan hati, tetapi ego dan gengsiku mengalahkan semuanya. Istri dan gadis kecilku sering mengunjungi bapak saat beliau sedang bekerja sebagai badut. Beliau sering menanyaiku tetapi aku tidak ingin menemuinya karena ia masih tetap kekeh menjadi badut, oh apa bagusnya jadi badut sih (pikirku). Namun, pada suatu hari ku dengar kabar bapak dari istriku, ia sedang sakit dan tak ada yang merawatnya. Karena masih terselip kasih sayangku pada bapak, maka ku ajak bapak tinggal di rumahku, dengan syarat ia menghentikan profesinya itu. “Nak Alhamdulillah kamu telah sukses nak, punya istri dan gadis yang manis pula, maafkan bapak nak jika bapak banyak salah tetapi, ijinkan bapak untuk tetap menjadi badut nak”, tegur bapak. “Pak sebenarnya aku udah maafin bapak, tapi aku juga minta tolong hentikan profesi bapak, senyuman bapak itu menghancurkan semuanya pak, gara-gara itu ibu pergi dan aku kehilangan kasih sayang seorang ibu pak, bapak tahu itu kan, sekarang bapak bisa tinggal di sini” “Iya nak, maafkan bapak”.Hingga suatu saat….
            “Kek, Rani minta sulap lagi dong kek,”, ajak anakku. “Oh tentu boleh sayang, untuk Rani tercinta apapan itu”, “Bim salabim , weee jadi burung”, hibur bapak. “Waah keren kek, besok itu hari ulang tahun aku kek, aku mau kakek dateng ya buat menghibur semua temen-temen aku mau ya kek”, tawar anakku. “Oh tentu boleh tapi asal bapak kamu mengizinkan ya”Melihat itu aku langsung mencegahnya “Tidak! Tidak bisa nak, kakek tidak bisa sudah sekarang bapak masuk kamar dan kamu juga masuk ayo nak”cegahku. “Kek, kakek harus dateng”, lanjut anakku.
            Pagi yang muram bagiku, entah apapun itu, pagi ini aku kurang bersemangat. Namun, karena hari ini adalah hari ulang tahun anakku maka ku coba untuk mempersiapkannya dengan baik, matang, dan rapi walaupun berat rasanya. Saat ditunggu pun tiba, ulang tahun anakku yang ke-6, sungguh bahagianya diriku. Namun kebahagiaan itu seketika rusak dan hancur karena kehadiran bapak dengan kostum jeleknya itu. “Nak sekarang kamu masuk kamar nak, sana ajak teman-teman mu cepat nak,” ajakku, “Tapi yah itu..itu kakek dateng mau ngehibur temen-temen yah”, “Udah cepet masuk!”, tegasku. Setelah anakku dan teman-temannya masuk kamar, aku segera menemui bapak. “Pak kan aku udah bilang pak, jangan pakai kostum badut itu dihadapan aku lagi, apalagi di hadapan anakku pak, jangan”, terkaku . “Iya nak maafkan bapak, bapak hanya berusaha untuk memenuhi permintaan Rani, anakmu”, jawab bapak. “Pokoknya aku nggak mau tau sekarang bapak copot kostum ini, atau bakar sekalian kalo nggak bapak keluar dari sini pak, keluar”, usiku. Tak lama bapak meninggalkan aku dan istriku dan pergi entah kemana. “Kamu keterlaluan ya mas, kok bisa kamu ngusir bapak kaya gitu, kamu coba pikir mas, kamu berfikir bahwa ibu telah meninggalkan kamu karena bapak, padahal apa mas ibumu itu ibu yang nggak bertanggung jawab mas seharusnya ia pergi juga membawamu bersamanya, tapi kenyataannya ia pergi ninggalin kamu sama bapak, seharusnya kamu bersyukur punya bapak seperti beliau mas, ia sudah berhasil membesarkanmu dengan sendiri tanpa bantuan siapapun, ia susah payah meghidupimu mas, kamu sadar itu kan mas”, tegas istriku. “Oh, tidak, ya ya, kamu benar, apa yang aku lakukan ya Allah, bapak…. Aku harus mengejarnya”, lanjutku tergesa-gesa. Aku temui bapak sedang tergeletak di sofa rumahnya. “Pak aku minta maaf ya pak, aku mengaku salah pak maafin Adit pak maaf jangan hilangkan senyuman itu pak, jaga senyuman itu buat Adit pak”isak ku, “Tidak nak kamu tidak salah, bapak akan selalu tersenyum buatmu”, Akhirnya bapak meninggal, aku sangat menyesal. Namun, semua telah terjadi tak ada yang bisa kulakukan.
Sepeninggal bapak aku terus berduka, akn tetapi suatu hari betapa terkejutnya aku, ketika dilihatnya anakku tergeletak di lantai. Aku dan istriku panik dan segera membawanya ke rumah sakit. Di rumah sakit, aku tak bisa mengungkapkan isi hatiku saat ku tahu bahwa anakku menderita gagal ginjal, oh ya Allah ampunilah hambamu ini (batinku). Saat ingin diadakan transfusi ginjal, ternyata ginjalku dan istriku tidak cocok dengan ginjal anakku. Namun, tak beberapa lama seorang bapak menemuiku dan berkata bahwa ia bersedia mendonorkan ginjalnya kepada Rani. “Pak Adit kenalkan ini Pak Pras, dia salah satu orang tua pasien di RS ini dulu”, kata dokter. “Iya pak, sejak Pak Deden ayah bapak meninggal, saya sangat bersedih pak, Pak Deden selalu mendatangi rumah sakit ini setiap harinya, ia selalu menghibur anak saya, kebetulan anak saya penderita kanker pak, awalnya ia tidak mempunyai semangat hidup tapi semenjak kehadiran Pak Deden ia memiliki semangat lebih untuk sembuh, bahkan ia mau makan hanya jika disuapin oleh badut kesukaanya, saya tahu betul sebagai orang tua yang anaknya sakit, kini anak saya sudah sembuh berkat Pak Deden, oleh karena saya tahu bapak ini anak dari Pak Deden maka saya bersedia mendonorkan ginjal saya pak”, lanjut Pak Pras. “Alhamdulillah ya Allah terima kasih pak”, lanjutku. Semenjak anakku sembuh aku terus merenungi kesalahan besarku, kesalahan yang tak pernah kulupakan, ternyata hanya dengan sebuah senyuman dari bapak dapat mendatangkan kebahagiaan.Walaupun kini bapak telah tiada, senyuman itu masih tetap ada di hati orang-orang di sekelilingnya. 
    Saat diriku kembali ke rumah bapak dulu, aku menemukan uang di atas lemari dengan tulisan “Untuk Sedekah”, menurut tetangga ternyata selama 7 tahun ku meninggalkan bapak, beliau masih tetap menjalankan rutinitas seperti biasa, selalu tersenyum dan gembira kepada semua orang tentu dengan sepeda tuanya. Dan mulianya ia melakukan itu hanya untuk mengumpulkan sedikit demi sedikit uang untuk disedekahkan, Ya Allah sungguh hanya tersisa penyesalan dalam diri ini. Bapak adalah ayah yang bertanggung jawab, berusaha menjadi ayah yang terbaik untukku, bapak adalah cahaya kegembiraan bagi semua orang. Senyumannya bagai pelita yang menerangi kegelapan, dan membuat kegelapan itu menjadi terang benderang dengan warna-warni canda tawa bagaikan pelangi. Bapak senyumanmu menginspirasi semua orang, sulap mu menghibur semua orang, dan hati muliamu membuat kehidupan seakan sempurna. Dengan begitu aku pastikan bahwa rumah bapak ini akan ku jadikan sebagai komunitas badut yang nantinya dapat membawa keberkahan bagi semua orang, dan dapat bermakna untuk siapapun, akan ku sedekahkan uang bapak ini kepada anak yatim, serta mengumpulkan anak yatim dan menghiburnya dengan komunitas badut ini. Kini, aku tak peduli lagi dengan kata orang mengenai badut, yang terpenting badut adalah pekerjaan yang halal terutama dapat membawa senyuman baru yang berkesan. Tak peduli walau kini aku pengusaha sukses akan ku hibur anakku dengan menjadi badut dan membuat senyuman yang tak akan terlupakan oleh semua orang hingga akhir hayatku nanti… (Mia Fadilah/8G),

Komentar